Senin, September 15, 2008

PEMBERANTASAN KORUPSI & AUDIT DANA PILKADA


PEMBERANTASAN KORUPSI
Korupsi, merupakan kata yang tidak asing lagi ditelinga kita, bahkan mulai anak-anak sampai dengan orang dewasa sangat familiar dengan kata tersebut. Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum, seperti memberi hadiah kepada pejabat pemerintah atau keluarganya atas imbalan dari jasa / pelayanan yang diberikannya. Kebiasaan ini dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari budaya ketimuran, kebiasaan koruptif ini lama-lama akan menjadi bibit-bibit koripsi yang nyata di masyarakat. Korupsi sudah mengakar di masyarakat Indonesia dan terjadi disetiap aspek tingkatan kegiatan masyarakat seperti mengurus surat perijinan, memasukkan anak ke sekolah vaforit, sampai pada proyek-proyek pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah dan proses hukum
Korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja dalam setiap kehidupan bermasyarakat di Indonesia, pada tahun 2005 menurut data Pacifik Ekonomic and Risk Consultancy, Indonesia menenpati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia. Apa yang harus kita lakukan untuk memulai menghapus sikap koruptif di masyarakat ? perdidikan sejak dini terkait dengan perilaku korupsi harus segera dilakukan.

Pengertian koripsi telah diatur dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara garis besar tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan dalam korupsi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh orang pribadi atau kelompok :
1. Yang dapat merugikan Keuangan Negara
2. Kegiatan suap menyuap untuk mempengaruhi keputusan
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan barang & Jasa
7. Gratifikasi

Selain itu masih terdapat tindakan lain yang terkait dengan korupsi antara lain :
1. Merintangi proses pemeriksaan dan penyidikan perkara korupsi
2. Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu dalam proses perkara korupsi
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
4. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberukan keterangan palsu
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu
6. Saksi yang membuka identitas pelapor.

Beberapa upaya dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan dan pemberantasan korupsi antara lain :
1. Memberikan pendidikan Anti Korupsi sejak dini di sekolah-sekolah dan memberikan informasi-informasi pendidikan Korupsi kepada masyarakat.
Pendidikan Anti Korupsi sangat penting diberikan kepada masyarakat sejak mereka duduk di bangku SD s/d perguruan tinggi, pendidikan Anti Korupsi ini berfungsi sebagai terapi positif tentang tindakan/ kegiatan yang sebenarnya sangat dilarang dan melanggar hukum. Dengan pendidikan secara berkesinambungan akan membentuk watak dan sikap berperilaku bersih dan bebas korupsi, akan tertanam dalam pikiran masyarakat tentang sikap malu berbuat korupsi.
2. Pembentukan lembaga Anti Korupsi yang bebas dan mandiri.
Lembaga Anti Korupsi yang bebas dan Mandiri sangat diharapkan untuk dapat memberantas Korupsi di Indonesia dalam segala bidang, dan bukannya lembaga yang dapat ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lain seperti kepentingan politik dan sentimen pribadi / kelompok.
3. Audit Keuangan Daerah dan Audit Anggaran
Audit yang dilaksanakan oleh Auditor Independen Pemerintah (BPK) atau Kantor Akuntan publik terhadap keuangan daerah serta Audit Anggaran akan dapat dipakai sebagai alat kontrol atas pelaksanaan penyelenggaraan pengelolaan keuangan baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah. Audit anggaran meliputi keseluruhan proses mulai dari penyusunan rencana anggara sampai dengan proses pelaksanaan dan pelaporan realisasi anggaran. Melalui audit anggaran, maka kegiatan – kegiatan yang mempunyai kecenderungan bersifat koruptif dapat dicegah dan terdeteksi.
4. Penyempurnaan atas sistem Pengadaan Barang & Jasa.
Pengadaan atas barang dan jasa telah diatur secara detail dan sistematis melalui Kepres 80 tahun 2003 dalam kepres tersebut telah diatur mengenai masa persiapan pengadaan barang sampai dengan saat penentuan rekanan yang terpilih dalam lelang / penunjukan langsung. Akan tetapi lagi-lagi sikap koriptif melalui serangkaian tindakan manipulasi dan kolusi telah mengalahkan sistem tersebut, pada akhirnya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tidak dapat dikontrol. Perlu adanya suatu terobosan yang cukup berani dalam memperbaiki sistem atau melakukan pengendalian atas sistem tersebut, salah satu yang dapat dilakukan adalah melalui E-Procurement yaitu sistem pengadaan atas barang dan jasa yang dilakukan secara elektronik / On Line. Dengan e-procurement maka proses pengadaan barang dan jasa lebih transparan, efisien dan efektive.
5. Pengendalian Anggaran
Pengendalian anggaran meliputi serangkaian proses mulai identifikasi rencana kegiatan, penentuan tarip, asumsi-asumsi dasar, sistem pengukuran dan pelaksanaan anggaran. Pemberantasan korupsi dapat dimulai dari adanya pengawasan/pengendalian anggaran, anggaran selama ini telah dijadikan sebagai alat korupsi oleh birokrasi, baik dilakukan sendi maupun melalui lembaga legislatip dan swasta. Menurut data dari KPK ada 77 % kasus korupsi yang terkait dengan anggaran. Artinya saat ini sangat tepat apabila anggaran digunakan sebagai pintu utama dalam pencegahan korupsi.


AUDIT PILKADA SEBAGAI SALAH SATU ALAT UNTUK MENCEGAH KORUPSI

Reformasi demokrasi yang telah dijalankan bangsa Indonesia mengantarkan bangsa masyarakat indonesia pada pemilihan Presiden dan Kepala daerah secara langsung. Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 dan PP No.6 tahun 2006 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan keleluasaan bagi masing-masing Kepala Daeran di tingkat Kota/Kabupaten dan Provinsi untuk mengelola daerahnya baik sumber daya alam dan keuangan daerah dalam kerangka Otonomi daerah. UU 32 juga mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung melalui PILKADA.
Pemilihan Langsung Gubernur, Bupati dan atau Walikota merupakan ajang Penggalangan Dana sekaligus menjadi lahan empuk Sindikasi Korupsi. Untuk Calon yang notabene adalah Penguasa (incumbent), kecenderungannya akan melakukan penggalangan Dana dengan cara sbb:
1. Dengan mengatasnamakan kepentingan Partai, maka seluruh Kader Partai yang kebetulan sedang berkuasa akan merapatkan barisan (sindikasi) baik atas inisiatif sendiri maupun secara kolektif, guna membantu pendanaan dalam rangka pemenangan Calon (incumbent), dimana dalam banyak kasus dananya bersumber (dikorupsi) dari APBN dan atau APBD.
2. Sejak awal berkuasa, Calon (incumbent) telah melakukan praktek-praktek Korupsi guna mengganti dana pinjaman pada waktu pencalonan pertama dan menggalang dana dari Penyedia Jasa (compensative approach) atau berasal dari Investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya dengan cara memanfaatkan kekuasaan yang melekat padanya (abuse of power).
3. Memanfaatkan (using) sumberdaya (fasilitas dan struktur kedinasan) yang ada untuk kepentingan pemenangan Calon (incumbent).

Sedangkan bagi Calon lainnya, akan melakukan penggalangan Dana dengan cara sebagai berikut:
1. Menggalang dana dari Sponsor dengan janji-janji (compensative approach), yang mengakibatkan pada saat berkuasa nantinya akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
2. Menggunakan dana pribadi dengan niatan ketika berkuasa nanti dana tersebut akan diganti yang sumbernya (dikorupsi) tidak lain berasal dari APBN dan atau APBD.
Rata-rata pengeluaran pilkada yang terlaporkan kepada KPUD untuk tingkat Kota/Kabupaten berkisar Rp. 3 milyar rupiah. Pengeluaran tersebut belum termasuk jumlah biaya yang dikeluarkan calon saat pencalonan yang meliputi beberapa biaya rekomendasi DPC dan DPP serta beberapa biaya transport dan pengurusan dokumen lainnya. Rata-rata total pengeluaran seorang calon kepala daerah sekitar Rp. 6 milyar.
Dana sebesar itu tidak dapat dikembalikan dalam masa jabatan Walikota / Bupati, Katakanlah Gaji seorang bupati sebesar rata-rata 7 juta rupiah maka gaji tersebut selama 5 tahun hanya sebesar Rp. 4,2 milyar rupiah. Nilai sebesar itu belum cukup untuk mengembalikan modal saat pencalonan sebagai kepala daerah.
Lalu darimana mereka mendapatkan dana untuk pengembalian modal tersebut ?
Beberapa spekulasi telah berkembang bahwa sumbangan dana kampanye membawa konsekwensi dan komitmen untuk mengembalikannya saat mereka berkuasa, pada saat itulah praktek-praktek korupsi baik langsung-maupun tidak langsung, sengaja maupun tidak sengaja telah terjadi, praktek-praktek yang mungkin dapat terjadi adalah :
1. Pemberian fasilitas bagi Parpol/pengurus parpol atas akses beberapa proyek
2. Memanupulasi tender untuk memenagkan pihak tertentu (pihak swasta yang menyokong dana pilkada)
3. Cenderung memanfaatkan jabatan untuk mendapatkan pendapatan lain diluar gaji guna mengembalikan hutang-hutangnya saat pencalonan
Untuk meningkatkan akuntabilitas publik, UU 32 tahun 2004 telah mengatur mengenai audit dana kampanye, sumber dana kampanye dan batasan atas sumbangan dana kampanye telah diberikan sebagai berikut :
No.
Sumber
Batasan
1
Pasangan Calon
Sesuai Kemampuan Calon
2
Parpol/Gabungan Parpol
Sesuai Kemampuan Parpol
3
Perseorangan
Max. Rp. 50.000.000,-
4
Badan Usaha
Max. Rp. 300.000.000,-
Audit dana kampanye dilakukan oleh Auditor Independen yang ditunjuk oleh KPUD, ironisnya tidak semua Kantor Akuntan Publik mempunyai kemampuan untuk melakukan audit dana kampanye, sehingga terkesan dilakukan secara asal-asalan, hal tersebut diperparah dari aturan yang setengah hati. Undang-undang belum memberikan sanksi yang tegas atas temuan-temuan audit dana pilkada, ketidak tegasan sanksi tersebut maka audit dana kampanye seperti Macan Ompong.
Meskipun demikian audit dana kampanye minimal dapat dipakai sebagai bahan informasi kepada masyarakat dan lembaga terkain diantaranya :
1. Memberikan informasi jumlah dan sumber sumbangan masing-masing calon kepala daerah, sehingga pada saat terpilih masyarakan dapat melakukan kontrol apabila terdapat kolusi yang terkait dengan pengadaan barang dan kebijakan-kebijakan lainnya yang terkait dengan nama-nama penyumbang.
2. Memberikan informasi kepada KPK tentang jumlah biaya yang telah dikeluarkan oleh pasangan calon untuk dikroscekkan dengan laporan kekayaan pejabat dan hubungannya dengan sisa kekayaan saat menjabat sebagai kepala daerah nantinya.
Untuk Pencegahan Dini Korupsi, maka aturan yang ada mengenai Pemilihan Langsung perlu direvisi yang intinya menambah Clausal bahwa para Calon dibiayai oleh Negara, untuk itu penjaringan Calon dilakukan oleh Team Independen. Atau perlu adanya penyederhanaan prosedur khususnya pada kalausul rekomendasi partai yang pada kenyataannya mempunyai kecenderungan mentarjet calon tertentu saat pencalonan.
Kesimpulannya adalah, meskipun seperti macan ompong, Audit dana kampanye masih sangat diperlukan sebagai alat meningkatkan akuntabilitas publik terkait dengan berapa biaya pilkada telah dihabiskan, akan tetapi masih timbul beberapa pertanyaan besar, kalau biaya yang dikeluarkan sangan besar dan tidak sebanding dengan penghasilannya kelak, KANAPA JABATAN WALIKOTA/BUPATI MASIH DIPEREBUTKAN ?

(Penulis adalah Dosen Universitas widya gama Malang & Spv. Auditor pada KAP. Santoso & Rekan Surabaya)

Tidak ada komentar:

GRATIS PENYIMPANAN FILE DI INTERNET